Current Dissertation

NoTitleAuthorYearAbstract
1STRATEGI ELITE TRADISIONAL BERKUASA DI KABUPATEN BANTAENG PROVINSI SULAWESI SELATANMuhtar Haboddin2021Riset ini menjelaskan pergulatan elite tradisional, khususnya kaum bangsawan dalam masyarakat Makassar disebut karaeng (golongan atas/keturunan raja, daeng golongan tengah dan ata golongan bawah). Nurdin Abdullah adalah bagian dari elite tradisional yang berhasil merebut dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan bupati di Kabupaten Bantaeng serta mampu memperbesar kekuasaan atas kemenangannya dalam pemilihan gubernur di provinsi Sulawesi Selatan. Kemampuan Nurdin Abdullah dalam merebut,mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan membawa dua pesan penting kepada lawan politiknya. Pertama, elite tradisional memiliki kemampuan berjuang dalam merebut kekuasaan dari keluarga petahana, Azikin Solthan (1998-2008) dalam pilkada secara demokratis. Kemenangan Nurdin Abdullah menjelaskan bahwa keluarga petahana bisa dikalahkan dalam pilkada secara langsung. Kedua, pilkada langsung sebagai instrumen sirkulasi elite di tingkat lokal berhasil dimenangkan elite tradisional. Kemenangan Nurdin Abdullah dalam perebutan kekuasaan bupati Bantaeng (2008-2018) dan terpilih sebagai gubernur Sulawesi Selatan 2018-2023 mengundang tanya, yakni bagaimana elite tradisional dalam merebut kekuasaan kepala daerah? Bagaimana cara elite tradisional mempertahankan kekuasaan dan memperbesar kekuasaan politik? 
2MENEGOSIASIKAN EKSOTIKA: RASIALITAS, GENDER, DAN SEKSUALITAS DALAM PRAKTIK KUASA KETUBUHAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN DI BALI Tedi Erviantono2021Disertasi ini mengkaji salah satu isu dalam area kajian politik identitas yang melibatkan dimensi rasialitas, gender, dan seksualitas. Dengan mendiskusikan jasa seksual eksotis dalam industri turisme, disertasi ini memproblematisasi eksotika ketubuhan perempuan yang selama ini didominasi pendekatan yang melihat perempuan sebagai objek atau ‘entitas lain’ yang eksotis dan serba dikontrol atau dikuasai. Pertanyaan mendasar disertasi ini adalah bagaimana berlangsungnya negosiasi eksotika pada industri jasa seksual serta siapa saja aktor dan apa saja institusi penopang yang terlibat dalam praktek-praktek pewacanaannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disertasi ini memanfaatkan pendekatan institusionalisme baru, khususnya teori institusionalisme konstruktivis yang dikembangkan Colin Hay (2006) dengan melihat wacana sebagai elemen penting pembentukan institusi, seperti yang digunakan studi Stephen Bell (2011). Institusionalisme konstruktivis dipilih digunakan oleh penulis karena teori ini menyediakan alat analisis yang mengaitkan interaksi struktur dengan proses, terutama memahami perubahan institusi yang dibentuk dan dipengaruhi beragam wacana yang berlangsung di sekelilingnya. 
3POLITIK KETEGANGAN WARTAWAN (Studi Ketegangan Wartawan dan Pemerintah Dalam Panggung Demokasi Kurun Waktu Tahun 1996-2015)Susilastuti DNJ2020Wartawan merupakan aktor profesional baru dalam sosial politik yang selalu terlibat dalam fakta dan peristiwa politik yang ada dalam masyarakat, sejak era printed media berkembang. Kehadiran mereka mengambil posisi sebagai challanger atau penantang pihak-pihak yang terlibat dalam klaim-klaim politik yang diangap perlu ditantangnnya atas nama sebuah peran profesionalisme. Penelitian ini mengkaji dua kasus pemberitaan yaitu pertama, Kasus penganiayaan wartawan SKH Bernas Fuad Muhammad Syafruddin (1998-2014) dalam kasus ini wartawan sebagai challenger mengambil posisi sebagai bagian yang terlibat klaim (participant-claimer). Kedua, Kasus Cicak Vs Buaya yang melibatkan institusi pemerintah yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia. Posisi wartawan sebagai challanger berada di luar pihak yang terlibat klaim (third claimer). Kehadiran wartawan dalam kedua kasus tersebut, menyebabkan terjadinya simultante antara kekuasaan, ketegangan politik dan aktivisme. Melalui nalar berpikir teori contentious politic yang dikemukakan Charles Tilly dan Sidney Tarrow penelitian ini mengkaji karya jurnalistik wartawan. 
4POLITICAL SETTLEMENTS (PEMUFAKATAN POLITIK) DI ANTARA KESULTANAN DAN INSTITUSI PENGAMBIL KEPUTUSAN DALAM KEBIJAKAN PERTANAHAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTANurul Nurhandjati2020Disertasi ini mengkaji upaya institusi tradisional mempertahankan kekuasaannya di tengah arus modernisasi. Pada proses transformasi tersebut, institusi tradisional sering kali tidak dapat mempertahankan kekuasaannya ketika berhadapan dengan institusi modern. Dengan mengambil kasus Kesultanan Yogyakarta maka pertanyaan yang diangkat adalah bagaimana Kesultanan Yogyakarta sebagai institusi pengambil keputusan tradisional melakukan pemufakatan politik untuk mempertahankan keberadaannya? Dengan menggunakan teori political settlements, penulis menjelaskan bagaimana Kesultanan melakukan pemufakatan politik dengan institusi pengambilan keputusan modern mengenai kebijakan pertanahan di DIY. Studi ini memiliki argumen bahwa untuk mempertahankan eksistensi dan otoritas dalam sistem politik modern, institusi tradisional harus melakukan proses negosiasi terus menerus hingga tercapai pemufakatan politik dengan institusi modern yang memiliki sumber legitimasi berbeda. 
5DEMOKRASI SEBAGAI PROYEK HEGEMONI: Wacana Politik Indonesia Pasca-Orde Baru 1998-2015 Dimpos Manalu2019Disertasi ini membahas tentang demokrasi di Indonesia dalam kurun waktu antara kejatuhan Soeharto tahun 1998 sampai periode kedua kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Soeharto lengser keprabon, aktor-aktor politik mengimajinasikan Indonesia baru yang demokratis. Namun, dalam imajinasi mereka, “demokrasi” itu sendiri memiliki makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, demokrasi merupakan suatu wilayah diskursus politik yang maknanya diperebutkan dan dipertarungkan (meaning making process). Penulis menempatkan “demokrasi” sebagai “penanda kosong” (empty signifier). Sebagai penanda kosong, demokrasi pada mulanya dipahami sebagai negasi terhadap Orde Baru dan Soeharto. Di balik negasi terhadap Orde Baru dan Soeharto ini terdapat beragam tuntutan yang berbeda, tidak jarang bertolak belakang satu sama lain, mulai dari penghapusan Paket 5 UU Politik dan penghapusan Dwifungsi ABRI, sampai penciptaan suatu pemerintahan yang bersih dan pemberantasan kemiskinan. Keberagaman tuntutan mereka dipersatukan oleh satu political frontier yaitu “negasi terhadap Orde Baru dan Soeharto”. 
6DINAMIKA POLITIK LOKAL MENUJU DEMOKRASI YANG MENYEJAHTERAKAN REFLEKSI AKTIVIS SOLO DI MASA BAKTI WALIKOTA JOKO WIDODOAkbarudin Arif2019Disertasi dengan judul DINAMIKA POLITIK MENUJU DEMOKRASI YANG MENYEJAHTERAKAN, Refleksi Aktifis Solo Di Masa Bakti Walikota Joko Widodo ini adalah refleksi aktifis tentang demokrasi lokal Surakarta atau Solo melalui pelacakan kerumitan wacana wong cilik sebagai kontrol populer. Pelacakan yang dilakukan melalui rekonstruksi kebersamaan antara penulis sebagai aktifis CSO dan Walikota Jokowidodo menemukan kehadiran wacana perlindungan wong cilik telah menjadi trigger sekaligus pemandu pembatas tindakan aktor dalam demokrasi politik lokal Kota Surakarta. Namun, menguatnya nilai kepublikan belum sampai level dimana kesejahteraan, utamanya wong cilik bisa menikmatinya secara optimum. Argumen yang dikemukakan penulis adalah bahwa wacana perlindungan wong cilik adalah wacana yang telah memikat aktor, tetapi belum sanggup memerangkap aktor untuk sepenuhnya mewujudkan. Wacana baru dibutuhkan, disertasi menawarkan rencana tindak untuk memulai era baru kebersamaan dalam kesadaran kepublikan yang penulis labeli dengan Urgensi Tindakan Beralasan Beyond Stakeholders (TBBS). Dengan kerangka berpikir TBBS ini demokrasi di lokal Kota Surakarta dapat dimajukan lagi, menyejahterakan semua, tanpa menghianati wong cilik. 
7DIPLOMASI PUBLIK INDONESIA TERHADAP MALAYSIA: MEMBANGUN KESEPAHAMAN DAN MEMELIHARA RELASI DALAM KESERUMPUNANIva Rachmawati2018Diplomasi publik Indonesia terhadap Malaysia dipraktikkan sebagai upaya baik oleh negara maupun aktor non negara untuk membangun kesepahaman dan memelihara relasi bilateral melalui identitas budaya/keserumpunan. Aktor non negara memiliki peran penting dalam bagaimana diplomasi publik Indonesia terhadap Malaysia diselenggarakan. Meski tidak bergerak secara sengaja dalam desain sebuah diplomasi publik, namun aktor non negara mampu menyelenggarakan fungsi diplomasi publik secara mandiri di luar kuasa negara. Sejumlah aktor non negara yang ditemukan dalam disertasi ini menunjukkan bahwa mereka menyelenggarakan fungsi sebagai jembatan komunikasi dalam memelihara relasi, mediator dalam menjembatani persoalan yang muncul bahkan mampu mendesakkan kebijakan negara demi relasi yang lebih positif. Dengan demikian, aktor non negara bukan lagi subyek yang pasif dalam diplomasi publik melainkan subyek mandiri yang mampu memainkan peran penting dalam diplomasi publik. Peran besar aktor non negara dapat ditemukan dalam tiga isu bilateral utama Indonesia-Malaysia dalam disertasi ini, yaitu isu perbatasan, isu klaim budaya dan isu tenaga kerja migran.