Refleksi Akhir Tahun: Politik Pemerintahan 2020, Mencari Normalitas Baru Dalam Rentetan Disrupsi

Pandemi COVID-19 telah mendisrupsi kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Pada “Refleksi Akhir Tahun DPP FISIPOL UGM” tahun 2020 ini, bersama Wawan Mas’udi, Bayu Dardias Kurniadi, Joash Tapiheru, Ulya Jamson dan Wigke Capri setidaknya terdapat empat topik utama berkaitan dengan pandemi COVID-19 dan normalitas baru yang disebabkan olehnya.

Pertama, menurut Bayu Dardias Kurniadi dalam pembahasan “Menguji Kemampuan Negara Melalui Pandemi” oleh hadirnya COVID-19 negara-negara di berbagai belahan dunia mengalami ujian kapasitas terkait dengan kemampuan negara dalam menangani krisis baik dalam hal daya tahan, manajemen finansial dan anggaran, kemampuan tenaga medis, sistem kesehatan, hingga sistem pemerintahan. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia.

Setidaknya Indonesia telah diuji dalam beberapa hal berikut:

  1. Kapasitas pengujian sampel COVID-19
  2. Positivity rate
  3. Kebijakan publik yang tidak konsisten
  4. Tumpang tindih otoritas

Dalam hal kapasitas pengujian sampel COVID-19, hingga 18 Desember 2021 terhitung bahwa Indonesia memiliki kemampuan pengujian yang rendah sejajar dengan negara-negara terbelakang di Afrika. Dalam hal positivity rate, Indonesia menempati angka 18,1% jauh di bawah standar 5% milik World Health Organization (WHO). Hal ini kemudian menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam menangani COVID-19 semakin memburuk dari waktu ke waktu.

Dalam hal kebijakan yang tidak konsisten, pemerintah yang awalnya menerapkan pembatasan mobilitas berubah menjadi himbauan protokol kesehatan 3M yakni “Memakai Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci Tangan”. Hal ini lantaran pembatasan mobilitas tersebut memiliki dampak ekonomi yang cukup signifikan sehingga kebijakan tersebut dihilangkan. Adapun kebijakan PSBB yang sempat berlaku tidak pernah dilakukan dengan ketat dan memiliki banyak kekurangan. Hal ini menunjukkan tidak konsistennya pemerintah dalam menangani COVID-19. Demikian halnya dengan tumpang tindih otoritas dalam beberapa peristiwa otoritas antara Satgas COVID-19, Kementrian Kesehatan atau Dinas Kesehatan saling tumpang tindih dalam persoalan data yang valid berkaitan dengan pencatatan COVID-19 di Indonesia.

Kedua, menurut Wawan Mas’udi dalam hal kepemimpinan politik di masa krisis, selain menguji kapasitas negara, pandemi ini juga menguji kapasitas kepemimpinan dalam konteks krisis. Kepemimpinan politik setidaknya akan menghasilkan dua output yakni semakin menguatnya legitimasi politik terutama sistem penanganan krisis dan sistem pemerintahan bagi pihak yang berhasil menangani krisis atau mengakibatkan adanya krisis lanjutan dan kebingungan di ranah masyarakat bagi kepemimpinan yang lemah.

Adapun pandemi COVID-19, memungkinkan kelahiran pemimpin yang memiliki citra populis dengan corak kebijakan yang berjangka pendek guna mencegah masyarakat untuk masuk ke jurang ekonomi yang lebih dalam. Di sisi lain, pandemi ini juga memungkinkan pemimpin yang otokratik dengan mengatasnamakan krisis. Demikian halnya dengan pragmatisme dalam kepemimpinan mulai bermunculan ditandai dengan upaya untuk memodifikasi situasi krisis untuk kepentingan elektoral jangka pendek. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena pemasangan foto pemimpin daerah tertentu di bantuan sosial masyarakat yang berasal dari pusat.

Pada dasarnya kepemimpinan dalam situasi krisis setidaknya harus mendasarkan analisisnya pada aspek-aspek pengetahuan yang kuat dan memiliki sense of urgency. Sayangnya hal ini tidak terjadi di Indonesia pada awal masa pandemi. Pada saat itu bahkan menteri-menteri senior di Indonesia cenderung membuat guyonan dari informasi pandemi COVID-19. Dampak dari hal ini ialah gagapnya pemerintah dalam mempersiapkan segala sesuatu untuk menangani krisis, khususnya krisis yang disebabkan oleh adanya pandemi COVID-19.

Ketiga, menurut Ulya Jamson mengenai “Pandemi dan Perjuangan Keadilan Gender”, pandemi ini mempertajam bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang selama masa sebelum pandemi telah diupayakan oleh berbagai pihak untuk dihentikan. Setidaknya bentuk-bentuk ketidakadilan dalam pandemi ini ialah:

  1. Marginalisasi
  2. Stereotype
  3. Kekerasan
  4. Multiple Burden

Disrupsi yang disebabkan oleh pandemi telah berdampak pada menyublimnya ranah privat dan publik ke dalam ranah domestik. Dalam studi kasus Daerah Istimewa Yogyakarta, menurut Rifka Annisa, jumlah aduan kekerasan pada tahun 2020 di bulan Januari, Februari dan Maret terdapat 40, 41 dan 33 aduan secara berurutan. Setelah adanya kebijakan yang mengharuskan masyarakat tetap di rumah dan tidak bepergian jumlah aduan ini meningkat di bulan April dan Mei sebanyak 67 dan 98 aduan yang merupakan dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.

Kebijakan yang melarang mobilitas manusia ini mengakibatkan semakin lama perempuan tidak memiliki kesempatan untuk keluar rumah dan semakin lama intensitas korban dengan pelaku kekerasan di rumah yang berakibat buruk pada kesehatan mental korban. Adapun tekanan ekonomi dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan eksploitasi anak perempuan baik dengan pernikahan paksa di usia dini atau eksploitasi seksual dengan dalih perekonomian guna keluar dari dampak adanya krisis.

Di sisi lain, kelompok marginal seperti transpuan di Yogyakarta justru menunjukkan adanya ketahanan lantaran upaya komunal yang bersumber dari jejaring masyarakat sekitar yang muncul dalam bentuk solidaritas pangan. Adapun dalam skala pedesaan, ruang untuk munculnya tokoh-tokoh perempuan dalam kepemimpinan informal justru menjadi lebih terbuka. Dalam komposisi Satgas Covid, perempuan di desa memiliki peran lantaran kemampuannya dalam mengatur keuangan dan mengetahui kebutuhan masing-masing tetangga dibalik persoalan administrasi bantuan sosial pada umumnya.

Dalam skala yang lebih luas, pandemi COVID-19 berpotensi untuk membalikkan pencapaian SDGs dan keadilan gender yang selama ini telah diperjuangkan oleh beragam elemen. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa ketimpangan yang diupayakan untuk dihentikan menguat kembali dengan adanya COVID-19.

Terakhir, menurut Joash Tapiheru mengenai new NORMAL atau NEW normal disrupsi yang merupakan watak dari pandemi COVID-19 ini menunjukkan momen tersingkapnya dimensi politik dari apa yang dianggap sebagai suatu hal yang normal dan terberi. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa disrupsi bersifat sementara. Namun, bila disrupsi ini bersifat permanan maka akan ada normalitas baru yang muncul dengan bentuk dan konsekuensi yang belum diketahui.

Dalam hal new normal, penekanan new normal juga perlu diperhatikan. Bila penekanan diletakkan pada “normal” maka dalam upaya penanganan pandemi ini merujuk pada kembalinya masyarakat ke situasi normal hanya ditambahi dengan himbauan 3M atau protokol kesehatan. Sayangnya penekanan ini cenderung mengabaikan aspek kepatuhan yang memberi dampak berkepanjangan dalam pandemi. Bila penekanan pemerintah ada pada “new”, maka diperlukan sebuah normalitas baru dalam merespon pandemi ini.

Dalam penentuan penekanan tersebut pun diperlukan pengakuan bahwa normalitas dan penentuan definisi disrupsi memiliki watak politik yang sayangnya cenderung disangkal oleh pemerintah yang berimbas pada upaya keputusan politik yang tertunda. Contohnya, terdapat kebingungan antara mekanisme penanganan COVID-19 herd immunity, partial lockdown atau total lockdown. Perdebatan yang ada berbicara mengenai untung dan rugi dari pilihan penanganan tersebut dan melupakan aspek kepatuhan. Akhirnya, ketika PSBB dan protokol kesehatan diberlakukan tidak ada aspek kepatuhan yang muncul pada aturan-aturan tersebut.

Terlebih lagi, kecenderungan untuk menunda pengambilan keputusan dan keraguan untuk mengambil keputusan dalam pengalaman menghadapi COVID-19 membawa masyarakat kepada kompleksitas yang lebih besar. Adapun inkonsistensi kebijakan membuat keputusan yang sudah ada tidak berhasil ditetapkan menjadi normalitas baru dan memiliki tingkat pengulangan yang rendah.

Simak refleksi selengkapnya di sini