KEWARGAAN PASCAKOLONIAL DI INDONESIA: SEBUAH DISKUSI TENTANG STUDI KEWARGAAN DAN DEMOKRASI LOKAL

Research Center of Politics and Government (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan menyelenggarakan bedah buku di Lab Big Data Fisipol pada Rabu (16/08/2023). Adapun kegiatan ini mendiskusikan buku karya Prof. Gerry van Klinken  yang berjudul “Kewargaan Pascakolonial di Indonesia”. Diskusi ini berlangsung secara bauran dengan turut menghadirkan Prof. Gerry van Klinken selaku penulis buku; dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP); Peneliti PolGov; serta peserta yang terbuka untuk umum. Amalinda Savirani selaku Dosen DPP juga berkesempatan untuk memberikan pembahasan terkait topik buku tersebut. Dipandu oleh moderator, Mahesti Hasanah, diskusi bedah buku ini berfokus untuk membahas demokrasi lokal dan studi kewargaan. 

Klinken membuka diskusi dengan menceritakan tragedi kematian seorang aktivis politik yang bernama Jan Djong di Penjara Maumere. Jan Djong yang secara vokal menyuarakan isu kewargaan dianggap telah melakukan pemberontakan terhadap rezim. Demonstrasi sengaja dilakukan oleh sejumlah aktivis politik di Maumere yang memiliki pengharapan akan kekayaan, kejayaan, hingga kebebasan dari aturan kerajaan yang mengikat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kultur transformasi masyarakat kolonial yang mewarisi sejumlah aturan kerajaan. Sejarah telah mencatat bahwa wilayah Maumere pernah menjadi pusat peradaban dari Kerajaan Sikka. 

“Dimana ada raja berarti ada kolonialisme, ada perbudakan. (Kekuasaan) Raja sebagai sisa-sisa kolonialisme Belanda, sedangkan republik yang baru lebih besar dari Kerajaan Sikka,” kata Klinken. Argumen tersebut sejalan dengan konsep kewarganegaraan yang saat itu belum matang dan terpengaruhi oleh lembaga-lembaga konservatif. Tokoh-tokoh yang aktif melakukan demonstrasi seperti Jan Djong pun perlu disingkirkan agar beragam aturan lama tetap berjalan. Dengan demikian, saluran demokrasi kala itu menjadi  tersumbat. 

Selain tragedi tersebut, Klinken juga menyampaikan bahwa buku ini memuat sejumlah kritik terkait studi kewargaan. Misalnya, kritik dari Engin F Isin yang berpendapat bahwa kurikulum di sekolah pada umumnya mengajarkan pendefinisian kewargaan (citizenship) sebagai sebuah keanggotaan. Kewargaan seorang warga negara baru akan dinilai sah apabila memiliki kartu identitas keanggotaan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, pemaknaan secara statis tentang kewargaan justru menimbulkan batasan-batasan politis. Padahal studi kewargaan dapat terwujud secara dinamis dengan melibatkan partisipasi aktif setiap stakeholder. Oleh karena itu Klinken mengatakan, “Pemberontakan (dalam citizenship) dalam bentuk yang berbeda merupakan bentuk modalitas aktif kewargaan.” 

Selanjutnya, Amalinda memberikan tanggapan melalui temuan dari bacaannya. Terdapat dua dimensi yang menempel dalam buku yang ditulis oleh Klinken. Pertama, dimensi temporal yang mengambil sudut pandang kelahiran para elite lokal untuk menguasai akses sumber daya negara. Kedua, dimensi spasial yang menyoroti secara khusus fenomena struktur patronase di Maumere. Di sisi lain, Amalinda mempersoalkan tentang bagaimana relasi antara warga negara dengan pemerintah yang cenderung menuntut kepada negara, “Mengadu ke media sosial merupakan cara baru kita untuk mengkritisi studi citizenship yang statis.”