Senin, 20 Maret 2023
Kuliah umum ini bertujuan mendiseminasikan hasil survei terkait persepsi mahasiswa atas perubahan iklim yang dilakukan pada tahun 2022 oleh dosen dan mahasiswa dalam kelas Metode Penelitian Kuantitatif di Dept. Politik dan Pemerintahan UGM, serta mendiskusikan faktor-faktor yang membentuk pengetahuan, kepercayaan, dan tindakan kaum muda terkait perubahan iklim. Kuliah ini menghadirkan narasumber Nanang Indra Kurniawan – Dosen Dept. Politik dan Pemerintahan UGM, Mahesti Hasanah – Dosen Dept. Politik dan Pemerintahan UGM dan Agustinus Allan Porajow – Mahasiswa Dept. Politik dan Pemerintahan UGM dengan moderator Ardiman Kelihu – Peneliti PolGov.
Kuliah umum dibuka oleh moderator, Ardiman Kelihu, yang memberikan konteks pelaksanaan diskusi, pertanyaan besar diskusi, dan memperkenalkan narasumber. Kuliah umum dilanjutkan dengan pemaparan dari Mahesti Hasanah yang menjelaskan metode pengambilan data dari survei yang dilakukan. Menurut Mahesti, survei ini merupakan proyek kolaborasi antara dosen dan mahasiswa, serta representasi dari project-based learning class pada kelas Metode Penelitian Kuantitatif di Dept. Politik dan Pemerintahan UGM. Dengan menggunakan metode kuantitatif, survei ini memilih pendekatan yang kolaboratif dan partisipatoris dalam proses perumusan instrumen, penyusunan responden, serta pengumpulan data. Survei dilakukan dengan mode daring dan/atau luring dengan prinsip distribusi gender dan responden dari berbagai fakultas dan universitas di Indonesia yang merata. Survei bertujuan melihat variasi persepsi dari mahasiswa yang berada di Pulau Jawa—dengan infrastruktur yang lebih mapan dan exposure terhadap informasi yang lebih intensif)—dan luar Pulau Jawa. Dengan tujuan tersebut, Mahesti menyebutkan jika survei berhasil mengumpulkan total 1,083 responden, sedikit melampaui target awal yakni 1,000 responden. Pengumpulan data dilakukan oleh seluruh mahasiswa kelas dan lebih dari 10 orang mitra dari universitas di luar UGM. Secara demografis, responden berasal dari 22 universitas di Indonesia, baik di dalam maupun luar Pulau Jawa, dengan persentase laki-laki (518 responden) dan perempuan (567 responden) yang hampir setara. Seluruh responden berumur antara 17 sampai 22 tahun dengan persentase responden berusia 19 tahun mendominasi.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Agustinus Allan Porajow, perwakilan dari mahasiswa di kelas Metode Penelitian Kuantitatif yang turut terlibat sebagai enumerator dalam survei yang dilakukan. Allan menjelaskan lebih lanjut terkait pemilihan ‘perubahan iklim’ sebagai topik utama survei. Menurut Allan, isu ini perlu diangkat karena, pertama, krisis iklim sedang terjadi hari ini. Hal ini ditandai dengan beragam peristiwa alam yang menunjukkan aspek katastropik bagi masyarakat dan lingkungan, serta mendorong adanya tindakan nyata dari masyarakat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kedua, isu perubahan iklim semakin populer dan menjadi atensi publik, pemerintah, dan media. Meski demikian, belum banyak upaya dari gerakan aktivisme arus utama yang menempatkan isu ini sebagai prioritas. Ketiga, isu perubahan iklim dipilih karena adanya urgensi dari generasi muda untuk ikut serta dalam membicarakan dan berpartisipasi dalam gerakan hijau. Allan mengangkat aspek intergenerational (antar generasi) pada perubahan iklim yang menegaskan bahwa anak muda adalah pihak yang akan mewarisi bumi kepada generasi selanjutnya, sehingga apa yang dilakukan anak muda hari ini akan memberikan dampak pada kehidupan di masa mendatang.
Menurut Allan, berdasarkan survei yang dilakukan, anak muda memiliki kepercayaan tinggi bahwa iklim global mengalami perubahan. Hal ini menandakan awal yang baik bagi gerakan perubahan iklim di Indonesia dengan anak muda sebagai salah satu pemeran utamanya. Allan kemudian menekankan perlunya pemahaman yang holistik terkait perubahan iklim, terutama karena pemahaman yang berlaku saat ini seringkali cenderung konservatif dan mengasosiasikan perubahan iklim hanya pada fenomena es kutub yang mencair, kekeringan, atau suhu yang semakin meningkat. Padahal, efek perubahan iklim lebih besar dari pada itu. Beberapa di antaranya adalah deforestasi hutan, lahan yang semakin hilang, ataupun krisis pangan yang kian muncul sebagai bagian dari permasalahan. Allan melanjutkan pemaparan dengan menggarisbawahi temuan terkait pentingnya media sosial dan perbincangan dalam kelas sebagai medium penyebaran informasi dan kesadaran terkait perubahan iklim. Meski demikian, ketika ditanyakan terkait isu yang harus diatasi oleh pemerintah, perubahan iklim tidak menjadi prioritas dari responden. Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan korupsi dianggap sebagai isu yang lebih signifikan untuk ditangani pemerintah.
Pemaparan dilanjutkan oleh Nanang Indra Kurniawan yang menggarisbawahi aspek temporalitas sebagai salah satu elemen penting yang diproblematisasi di dalam isu perubahan iklim. Temporalitas direpresentasikan dengan penggunaan aspek intergenerational (antar generasi) dan terminologi “masa depan” yang digambarkan sebagai penuh dengan ancaman dan kedaruratan. Dengan menggunakan aspek temporalitas, anak muda muncul sebagai aktor yang dianggap berkepentingan karena mereka adalah pihak yang akan menghadapi berbagai ancaman tersebut di masa depan.
Nanang kemudian menegaskan kembali tujuan dari penelitian yang dilakukan, yakni untuk melihat pandangan kaum muda terdidik di Indonesia terkait perubahan iklim. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk pengetahuan, kepercayaan, dan tindakan mereka terhadap perubahan iklim. Selain itu, penelitian bertujuan untuk melihat pandangan kaum muda dan prioritas kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah, kepercayaan kaum muda terhadap pemerintah, dan komitmen mereka terhadap tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim. Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa variasi persepsi tentang perubahan iklim dipengaruhi oleh tingkat industrialisasi, modernisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Karenanya, dengan mengasumsikan Pulau Jawa sebagai area yang memiliki level modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari daerah lainnya, pengategorisasian dan pemilihan jumlah responden dilakukan berdasarkan proporsi Jawa dan luar Jawa untuk menangkap variasi persepsi kaum muda.
Nanang menjelaskan lebih jauh terkait elemen-elemen yang dielaborasi dalam survei, termasuk karakter personal responden, pengetahuan terkait perubahan iklim, pengalaman empirik, kepercayaan tentang perubahan iklim, kepercayaan terhadap pemerintah, dan tindakan atau engagement di dalam upaya penanganan perubahan iklim. Temuan yang digarisbawahi oleh Nanang adalah karakter responden atau mahasiswa Indonesia (decisive-non decisive) yang cenderung moderat, namun relatif decisive, terbuka, dan optimistik. Responden memiliki kapasitas agensi yang aktif dengan kecenderungan moderat; mereka terlibat dalam perdebatan, diskusi, dan membagi pengetahuan kepada orang lain. Lebih jauh, Nanang menjelaskan bahwa keterpaparan mahasiswa terhadap isu perubahan iklim cenderung tinggi dengan sumber informasi utama dari media sosial. Dengan keterpaparan yang tinggi, survei menunjukkan mayoritas mahasiswa percaya bahwa perubahan iklim nyata terjadi dan bahwa fenomena tersebut berbahaya bagi manusia. Bagi mereka, perubahan iklim dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat antropogenik dan bahwa perilaku individual berkontribusi terhadap perubahan iklim. Terdapat aspek reflektif dari para responden tentang keterlibatan mereka dalam persoalan yang sedang dibahas. Meski demikian, mahasiswa juga memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kapasitas adaptif dari manusia dalam mengatasi problem tersebut melalui solusi berbasis pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, responden juga memiliki kepercayaan tinggi terhadap komitmen pemerintah dalam menyelesaikan isu-isu perubahan iklim. Meski demikian, survei tidak memasukkan variabel ideologi atau preferensi politik yang berpengaruh terhadap cara pandang mereka terhadap kinerja pemerintah. Mayoritas responden juga mau terlibat di dalam upaya menangani perubahan iklim.
Nanang mengakhiri diskusi dengan menjelaskan isu perubahan iklim yang tidak menjadi prioritas bagi kaum muda untuk diselesaikan oleh pemerintah, jika dibandingkan dengan isu kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan korupsi. Hal ini mengkonfirmasi teori yang menjelaskan bahwa sebuah masyarakat yang masih mengalami problem ekonomi tidak akan memprioritaskan isu ekologi atau perubahan iklim di dalam kebijakannya.