Tim peneliti dari program Citizen Engagement and Natural Resource Governance Education (Citres-Edu) dan Research Center for Politics and Government (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan UGM mengadakan kuliah umum berjudul “Geografi Politik Baterai dan Transisi Energi”. Acara ini dilaksanakan secara bauran di Lab. Big Data, Gedung BA Lt. 4 Fisipol UGM serta dengan media Zoom Meeting pada Selasa (20/6/2023). Kuliah umum ini bertujuan untuk menawarkan pemetaan terhadap potensi ketimpangan (inequality) geografis, sosial, ekonomi, dan politik yang muncul dari industrialisasi baterai dalam konteks transisi energi di Indonesia dan bagaimana mengantisipasi ketimpangan tersebut.
Acara ini dipandu oleh peneliti PolGov yaitu Fitria Yuniarti dan Dr. Nanang Indra Kurniawan, dosen Departemen Politik Pemerintahan sebagai narasumber. Selain peneliti PolGov dan dosen, acara ini juga diikuti oleh mahasiswa S2 dan S3 Departemen Politik dan Pemerintahan.
Dr. Nanang menjelaskan bahwa Transisi energi perlu dipahami sebagai sebuah proses pergeseran produksi dan konsumsi energi dari energi berbasis fosil ke energi radiator. “Jadi, transisi energi itu dibayangkan sebagai sebuah upaya bagi kita, melalui berbagai kebijakan pemerintah, untuk tetap memastikan pertumbuhan ekonomi dan distribusi berjalan, akan tetapi disaat yang sama juga mempertimbangkan isu penting yang dihadapi masyarakat global sekarang ini,” tutur Nanang.
Salah satu permintaan yang kian meningkat dalam konteks transisi energi Indonesia adalah komoditas ekstraktif untuk keperluan pembuatan bahan baku baterai. Baterai dianggap sebagai salah satu elemen kunci bagi agenda transisi energi karena kapasitasnya untuk melakukan penyimpanan energi. Hal ini dapat menjadi solusi bagi sumber energi terbarukan yang supply-nya masih belum stabil dan kadang sangat bergantung pada kondisi alam.
Meluasnya permintaan atas baterai dan energi terbarukan, serta adanya komitmen global untuk mengurangi energi berbasis fosil, telah mengubah lanskap politik global. Reorganisasi geopolitik dan peran aktor-aktor global baru, seperti Cina, menjadi kian menguat karenanya kapasitasnya untuk melakukan investasi berskala besar dalam teknologi baterai.
Di saat yang sama, melesatnya investasi di sektor produksi bahan baku baterai Indonesia turut menghasilkan resiko-resiko ketimpangan, baik di sektor hulu maupun hilir. Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral logam dan mineral kritis di berbagai daerah di Indonesia menjadi arena konflik antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat yang berusaha mendapatkan manfaat dari proses tersebut. Kerusakan lingkungan yang timbul dari pertambangan dan potensi konflik seringkali harus ditanggung oleh masyarakat setempat dalam rangka mewujudkan penggunaan energi yang lebih “bersih” di tempat yang lain. Kebijakan, proses perizinan, dan inventarisasi mineral kritis yang dibutuhkan untuk produksi bahan baku baterai juga seringkali membatasi aktor-aktor yang dapat mengakses manfaat dari pertambangan yang dilakukan.