“Orang yang menguasai data adalah orang yang menguasai dunia,” terang Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator dalam PolGov Talks serial keempat, Jumat (13-04). Bertempat di Auditorium Mandiri FISIPOL UGM, PolGov Talks serial keempat hadir dengan tema “Big Data dan Politik Elektoral di Indonesia”.
Data di media daring dan percakapan di media sosial menjadi sumber berharga bagi penentu perumusan strategi kampanye dan prediksi pemilu. Data-data ini tak berarti apa-apa jika belum terolah. Artificial intellegent adalah sistem yang kemudian mampu mengolah big data untuk kepentingan politik elektoral. “Sistem ini memungkinkan kita mengetahui siapa yang paling popular, siapa yang ekspos negatif lebih tinggi, siapa yang paling banyak dibicarakan, siapa yang menguasai wacana,” terang Rustika. Intelijen media ini berfungsi untuk monitoring isu, mendekteksi dini, prioritas kasus, analisis aktor, dan database profile.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya sejak 2012 dari 4008 media daring, Rustika menyebutkan bahwa terdapat enam kriteria utama yang menjadi kunci pemenangan pilkada. Kriteria-kriteria tersebut yakni media, persebaran nama kandidat, sentimen, konten isu, trend, dan arah populis.
Teknologi dan big data saat ini menjadi kata kunci dalam transformasi politik elektoral di Indonesia. Data dapat menjadi pijakan untuk memprediksi hasil pemilihan umum dan daerah.
Terkait Pemilu 2019 misalnya, melalui intelijen media, di tahun 2018 ini mulai dapat terlihat nama-nama yang muncul untuk menjadi capres dan cawapres. “Melalui media yang paling banyak dibicarakan di media adalah Jokowi (Joko Widodo), kedua adalah Probowo,” terang Rustika. Pada bulan April, popularitas Jokowi lebih rendah dari Prabowo. Berada pada urutan ketiga, adalah Agus Harimurt Yudhoyono (AHY). Menyusul nama Muhaimin Iskandar dan pada urutan kelima, terdpat Gatot Nurmantyo.
“Jadi siapa yang berpotensi jadi presiden? Di jejaring percakapan yang terkait dengan capres, yang besar adalah Jokowi dan Probowo. Cak Imin di mana? Dia tidak dekat dengan Jokowi dan Prabowo,” tutur Rustika.
Prediksi berbasis big data ini juga dapat digunakan dalam Pilkada maupun Pemilu di Indonesia. “Media sosial tidak menentukan pemenang elektoral, tapi ia mampu mendisrupsi masyarakat dalam menentukan pilihan,” tutup Rustika.