Yogyakarta, 19 Oktober 2022.
Research Centre for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi buku berjudul “Jokowi-Prabowo Election 2.0” dengan menghadirkan narasumber Max Lane dan Budi Irwanto yang merupakan penulis buku dan Made Supriatma sebagai editornya.
Dalam sambutannya, Nanang Indra Kurniawan, selaku Kepala PolGov UGM menyambut dengan baik adanya diskusi buku ini. Nanang memandang pentingnya buku ini untuk melihat persamaan dan perbedaan pemilu 2014 dan 2019 serta bagaimana hal tersebut relevan di tahun pemilu mendatang dan bagaimana politik identitas semakin menguat pada pemilu tersebut.
Merujuk dari buku yang diterbitkan oleh ISEAS tersebut, narasumber membedah poin penting buku, bagaimana dinamika pemilu 2019 dan relevansinya terhadap pemilu 2024 mendatang serta tantangan demokrasi di Indonesia. Dipandu oleh Amalinda Savirani yang juga merupakan salah satu penulis buku ini, ia memantik diskusi dengan mengajak anak muda untuk lebih kritis melihat buku ini dari kacamata generasi muda, apa yang kurang dari buku ini karena penulis-penulis buku ini bukan dari kalangan muda.
Selaku editor, Made mengungkapkan bahwa buku ini merupakan hasil simposium yang dilakukan di ISEAS pada bulan Juli, 2019. Simposium ini berusaha menginterpretasikan hasil pemilu 2019 dan bagaimana implikasinya. Hasil simposium tersebut dipaparkan dalam buku ini yang terbagi menjadi tiga bagian sudut pandang. Pertama, buku ini menyoroti dinamika opini publik yang terbentuk oleh cyberpolitics dan disinformasi yang pada akhirnya menghasilkan preferensi politik. Pada bagian kedua, buku ini membahas bagaimana dinamika pemilih dari berbagai entitas, seperti serikat buruh, organisasi relawan, dan kalangan minoritas Cina. Bagian terakhir dari buku ini mendiskusikan dinamika politik di regional, seperti Madura, Jawa Tengah, dan beberapa regional di Sumatra.
Poin-poin yang dijabarkan oleh editor buku kemudian dielaborasi lebih dalam lagi oleh penulis tiap babnya. Max Lane memaparkan bagian pertama buku dengan menyoroti demokrasi Indonesia yang dilihat dari kelas, kelompok, dan politik setelah pemilu 2019. Meskipun masyarakat umum melihat adanya polarisasi yang kuat, visiting fellow di ISEAS, Yusof Ishak Institute ini berargumen bahwa sebenarnya tidak ada polarisasi. Di bidang politik dan ekonomi, program kedua kandidat tidak ada perbedaan yang subtantif. Kedua kandidat ini juga dipandang bukan merupakan oposisi politik, yang terlihat suara yang relatif sama di pembahasan agenda-agenda di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di sisi lain, media seringkali melihat kontestasi pemilu 2019 pada level nasional atau Jakarta. Budi memaparkan bagian terakhir buku ini dengan melihat kontestasi pemilu dari kacamata yang berbeda. Kontestasi pemilu tidak dilihat pada level nasional namun dilihat pada dinamika regional dengan menyoroti salah satu wilayah penting, yaitu Jawa Tengah. Regional ini dianggap penting karena populasi penduduknya yang sangat tinggi sehingga menjadi battle ground bagi kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Meskipun Prabowo memindahkan kantornya dari Jakarta ke Jawa Tengah serta menggunakan politik identitas, namun Jawa Tengah tetap menjadi “kandang banteng” bahkan strateginya telah membangunkan banteng yang tertidur. Budi menjelaskan fenomena ini dengan memperlihatkan perbedaan dinamika politik lokal yang berbeda dari tingkat nasional.
Acara yang diselenggarakan di Ruang Seminar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini adalah hasil kerjasama PolGov UGM dengan the ISEAS–Yusof Ishak Institute. Diskusi buku ini dapat disimak kembali di DPP UGM Youtube channel.